My Coldest CEO

3| Rest The Body



3| Rest The Body

0"Saya tidak bilang kalau kamu boleh menolak tawaran saya untuk di antar pulang,"     
0

Leo menatap Felia yang sudah berada tepat di sampingnya, menduduki kursi mobil dengan gerak-gerik yang sangat gelisah. Bahkan, kini seat belt pun belum terpasang di tubuh wanita tersebut.     

"Tapi, Tuan... aku tidak enak, lebih baik aku naik bus saja." ucap Felia yang menoleh ke arahnya sambil menggaruk daun telinga, entah kenapa wanita ini begitu cemas.     

Hei, padahal Leo hanya ingin mengantarnya karena hari sudah terbilang malam walaupun belum terlalu larut. Tapi kan sama saja namanya juga tindak kejahatan pasti tidak ada yang pernah tahu, jadi ini hanya tindakan kewaspadaan saja.     

"Tidak menerima penolakan,"     

Tubuh Leo mendekati Felia, lalu dengan cermat memakaikan seat belt ke tubuh wanita tersebut. Aroma stroberi menyeruak, menyapa indra penciumannya dengan sangat memanjakan.     

Sedangkan Felia? Tentu mereka saja ia menahan napasnya, tidak pernah memikirkan jika akan bertemu dengan seorang Luis apalagi berada satu mobil dan diperlakukan semanis ini. Ah iya, mungkin tidak masalah menjadi seorang putri dalam satu hari penuh ini. Toh besok lagi dia akan menjadi seorang ART, kembali mengurusi segala macam pekerjaan rumah yang setiap hari pun tidak ada hentinya. Bahkan akhir pekan pun tidak memberikan dirinya banyak peluang untuk bersantai-santai seperti layaknya orang kantoran.     

"Lebih cepat, lebih baik. Dan di mana rumah mu?" tanya Leo setelah berhasil memakaikan seat belt ke tubuh Felia, ia mengulas sebuah senyuman manis yang memang mampu menghipnotis banyak wanita termasuk yang berada di sampingnya ini.     

Felia menatap Leo yang memang menampilkan aura baik. Maksudnya, tatapan laki-laki itu tidak menunjukkan kalau apa yang dilakukan kini hanya mengambil kesempatan dalam kesempitan saja. Sampai menampilkan sebuah senyuman yang merasa tidak enak dengan Leo, ia berdehem kecil untuk mencoba menghilangkan perasaan itu.     

"Cottesmore Gardens, Tuan." cicit Felia.     

Mendengar ucapan Felia yang menyebutkan pekarangan rumah paling mahal di Inggris yang menempati urut 10 itu pun menaikkan sebelah alisnya karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan wanita tersebut.     

Felia itu sendiri pun menaikkan sebelah alisnya, memangnya ada yang salah dari apa yang dirinya ucapkan ini? "Maaf Tuan, kenapa? Apa kamu tidak tahu jalan ke sana? Ah sudah ku bilang lebih baik aku pulang meng--"     

"Tentu saja saya tahu," ucap Leo yang langsung memotong ucapan Felia sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Menyalakan mesin mobil, lalu memegang kemudi dengan santai. Memangnya siapa yang tidak kenal dengan pekarangan rumah elit yang memiliki rata-rata harga rumah 6,3 juta poundsterling atau Rp8,8 miliar? Tentu saja tahu.     

Dalam perjalanan, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Bahkan, Leo sendiri pun fokus ke arah jalan raya, berkendara dengan kendaraan umum dan pribadi lainnya.     

Felia pun diam saja, karena hei! memangnya siapa yang mengira ia akan bertemu dengan CEO paling kaya ini? Bahkan ia tidak percaya jika bokongnya tengah duduk di sebuah Bugatti La Voiture Noire. Jangan tanyakan berapa harganya pun gaji ia saja belum cukup untuk menabung supaya bisa membeli mobil keren itu.     

"Turunkan aku di jalan saja, Tuan."     

Leo mengalihkan pandangannya sekilas ke arah Felia, lalu setelah itu menggelengkan kepala. "Kamu ingin di rampok ya?" tanyanya.     

Membelalakkan kedua bola matanya, Felia yang mendengar pertanyaan Leo pun membelalakkan matanya. "Tentu saja tidak!" serunya.     

Memangnya sipa yang ingin di rampok? Tidak ada. Walaupun kini di tas selempang-nya hanya terdapat ponsel model lama dan juga beberapa lembar uang dolar sisa gajian bulan kemarin, pun tak ayal membuat dirinya takut di rampok.     

"Kalau begitu, duduk saja di dalam mobil saya. Jangan banyak bicara, apa itu susah?"     

"Tapi, kita tidak setara, Tuan."     

Membicarakan tentang derajat memang tidak ada habisnya, tapi Leo sama sekali tidak memandang semua itu. Baginya, manusia di dunia ini sama. "Kamu membicarakan tentang kasta lagi, aku akan membawa mu ke rumah ku." ucap Leo dengan nada tenang. Ia memang gemar mengancam, tapi mengancam ke arah yang positif.     

Felia membelalakkan kedua bola matanya, tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Leo. Jangankan di bawa ke rumah laki-laki itu, duduk sebelahan satu mobil mewah saja membuat dirinya terasa panas dingin. Berdoa saja supaya dirinya tidak terkena demam esok harinya. "Baiklah, maaf sudah memberikan kesan buruk." ucapnya sambil menghembuskan napas kecil.     

Banyak wanita yang terpana dengan kekayaan Leo sampai lupa kalau ternyata laki-laki ini mempunyai sifat yang sangat menyebalkan.     

Beberapa menit kemudian ...     

Deretan rumah di pekarangan Cottesmore Gardens terlihat jelas dan tentu saja Felia langsung menunjuk ke arah sebuah rumah yang berada di antara rumah lainnya.     

"Hentikan aku di sini saja, Tuan. Jangan di depan rumahnya." ucap Felia dengan tangan yang tidak sengaja mengguncang lengan Leo supaya laki-laki itu menghentikan mobilnya sesuai dengan arahannya.     

Leo menaikkan sebelah alisnya, namun tak ayal menuruti ucapan wanita tersebut. "Kenapa? Bukannya belum sampai?" tanyanya yang memang penasaran dengan ucapan Felia itu.     

"Tidak apa, Tuan. Nanti aku bingung kalau orang rumah bertanya aku di antar siapa,"     

"Ya jawab saja kekasih mu, apa itu sulit?"     

Felia menatap Leo dengan tatapan tidak percaya, apa laki-laki ini terlalu terbuka untuk orang baru? "Tidak, itu bukan ide yang bagus." ucapnya sambil menggelengkan kepala.     

Leo hanya mengangguk, karena tidak ingin memaksakan kehendak juga. "Kalau begitu, baiklah." ucapnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Felia, lalu melepas seat belt yang menyilang di tubuh wanita tersebut.     

Ceklek     

Seat belt kembali pada tempatnya, lalu Felia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepala Leo. Dari mulai di traktir makan makanan mahal, sampai di antar pulang. Jadi, begini ya rasanya jadi orang kaya?     

"Hati-hati di jalan, semoga hari selalu menyenangkan ya Tuan. Aku permisi," ucapnya sambil membuka pintu mobil. Ia menoleh ke arah kaca yang memantulkan wajah Leo, lalu mengulas sebuah senyuman manis. Melambaikan tangannya tanda perpisahan yang sudah pasti tidak akan bertemu lagi, lalu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan laki-laki tersebut di dalam mobil.     

Sedangkan Leo? Ia mengangkat bahunya acuh, ya namanya juga suka membantu orang lain jadi hal ini bukan alasan untuk menyesali perbuatannya.     

Melajukan kembali mobilnya, meninggalkan perumahan ini dengan hati yang sedikit.. berseri?     

...     

Membanting tubuh tepat di atas kasur adalah hal ternyaman setelah selesai bersih-bersih tubuh dan mulai melakukan mode istirahat untuk melepas segala penat yang bersarang di tubuhnya.     

Kini, hari sudah berganti menjadi malam. Setelah mengantar Felia ke rumahnya, tentu saja Leo langsung melucuti seluruh pakaiannya dan bergegas ke kamar mandi karena merasakan tubuhnya yang sudah lengket.     

Dan saat ini, ia sudah memakai kaos polos dengan boxer yang selalu menjadi kebanggaannya saat di rumah. Ia menatap langit-langit kamar, tidak tahu ingin memikirkan apa sampai-sampai rasanya kini memiliki isi kepala yang benar-benar kosong.     

Drtt ...     

Drtt ...     

Leo berdecak kecil, ia sangat tahu siapa yang kini tengah meneleponnya. Entah mengapa dirinya jadi malas dengan Azrell. Ia tidak peduli deh kalau ATM nya tidak di kembalikan, yang terpenting bisa bebas dari wanita modelan seperti itu.     

Sudah berisik, banyak mau, penuntut, suka sekali foya-foya, dan bahkan terkadang gadisnya itu pergi ke club malam. Sudah kehilangan mahkota? Tentu saja Azrell sudah kehilangan hal itu sejak lama. Bukan masalah tidak bisa menjaga sih katanya, tapi memang wanita itu terlalu berpikiran dewasa sehingga memicu nafsu yang besar. Dan untung saja dirinya tidak pernah tergoda.     

Daripada berisik dan Azrell yang berada di seberang sana menelepon dirinya berkali-kali, lebih baik ia segera mengangkat telepon tersebut. Meraih ponselnya yang berada di atas nakas, lalu menggeser tombol hijau dan ditaruh pada daun telinga. "Halo,"     

"Halo, halo. Kamu kemana saja? Aku chat tidak di balas, di telpon pun hanya di diamkan."     

Nada bicara yang terdengar lembut namun mengeluarkan nada tajam itu pun langsung terdengar, menyapa indra pendengaran Leo tanpa adanya sapaan salam sedikitpun. "Saya sudah mengatakan padamu kalau lembur hari ini, Azrell."     

"Panggil aku dengan panggilan sayang!"     

"Saya tadi lembur, sayang. Dan segera memutuskan untuk mengisi perut karena keroncongan,"     

Tidak ingin berdebat dengan Azrell pun lebih baik Leo mengiyakan segala hal yang di perintahkan wanita tersebut. Memanggil Azrell dengan sebutan 'sayang' sangat terdengar aneh di telinganya.     

Terdengar suara decakan dari seberang sana, "Pulang jam berapa? Kenapa tidak mengabari aku sih, Leo?"     

"Memangnya kabar itu penting ya bagi mu?"     

"Tentu saja!"     

"Dan kenapa sudah hampir satu bulan ini kamu membohongi saya?"     

Leo menarik sebuah senyuman miring di permukaan wajahnya. Jangan bilang dirinya terlalu membebaskan Azrell, tentu saja ia memiliki sistem mata-mata yang tidak akan pernah di sadari oleh orang-orang di hidupnya.     

"Maksud mu?" tanya Azrell di seberang sana. Nada kesalnya sudah berganti menjadi nada yang penuh kebingungan. Entah dirinya yang memang tidak melakukan apapun, atau pura-pura tidak mengerti.     

Leo beranjak dari tidurnya, lalu duduk di tepi kasur. Menatap lengan berototnya yang terlihat sangat maskulin itu. "Untuk apa ke diskotik sendirian dan pulang larut malam dengan keadaan mabuk dan bergonta-ganti laki-laki, apa saya tidak cukup?"     

Diam, suasana tiba-tiba hening.     

"Sebenarnya apa yang kamu banggakan dari ku?" tanya Leo kembali, soalnya wanita di seberang sana mendadak bergeming dengan apa yang diucapkannya.     

"Tidak, sayang. Itu bohong kan, mungkin kamu salah orang?"     

Leo mengangguk kepalanya saja, lagipula ia tidak ingin memperpanjang ini. Urusan salah orang atau tidak, jelas saja jawabannya tidak. "Lalu, apa kamu pernah memberikan kabar ke saya?"     

"Iya, maaf Leo sayang."     

"Jadi di sini itu perlu komunikasi dan kepercayaan,"     

Azrell berdehem dari seberang sana, merasa gugup. "Apa setelah ini kita masih bisa tetap bersama? Layaknya pasangan lain?"     

"Tentu, kamu memberi kabar, aku juga akan seperti itu, Azrell."     

Ia ingin melepas Azrell, namun belum memiliki kata-kata yang bagus untuk memutuskan hubungan dengan wanita tersebut. "Kalau begitu, selamat istirahat ya sayang. Jaga kesehatan mu, selamat malam dan mimpi indah."     

Pip     

Tanpa mendengarkan balasan dari Azrell, Leo langsung saja memutuskan sambungan telepon.     

Banyak orang yang melihat hubungan mereka romantis dan humoris, namun nyatanya? Ya hanya perihal ini saja.     

"Lebih baik mengistirahatkan diri saja,"     

Pikirannya memang sudah di penuhi oleh Azrell, tapi sepertinya ada celah baru yang siap mengizinkan wanita lain untuk menggantikan posisi kekasihnya yang saat ini.     

Dimana pelabuhan selanjutnya? Kita lihat saja nanti takdir membawa hidupnya kemana.     

"Wanita memang sangat merepotkan,"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.